Dua Puluh Satu Lidas Emas
Oleh Nuwa Ayu
Pernahkah kaulihat
matahari begitu banyak?
Atau turun merendah
seolah mencecah?
Dalam lapar, dalam nanar, matahari membelah, menjelma kerumun
bulatan pijar. Dan gedung-gedung, dinding-dinding kaca, menggandakan semakin
banyak lalu memantulkan. Begitulah terik, siang memanggang meringkus dirinya.
Begitulah semua datang, semua terbentang. Mungkin lebih tampak
seolah rebah. Dan lihatlah, di belahan itu rel kereta masuk bagai menusuk.
Menerobos hutan, pohon-pohon dengan akar yang bergelayutan. Akar-akar yang juga
bagai bersembulan, merayap turun seakan ingin menjangkau rel dari dinding-dinding
bukit di kiri kanan. Dan ah, dadanya, tidakkah amat berdebar? Semuda ini. Ia
akan bekerja di sebuah tambang. Tambang emas!
Bagaimana semua bisa tiba-tiba berubah? Ia sendiri tak begitu
tahu. Kata Logam, segala yang dulu dikuasai Jepang kini kita yang memiliki.
Begitu juga tambang emas di Nupa.
Dan seperti mimpi, Logam, orang kampungnya yang juru tulis gudang di tambang pun
mengajaknya. Di atas lor[1]i dengan empat
wagon yang dibelintangi papan-papan. Di atas papan itulah ia duduk. Memandang
ke luar. Ia pun tiba di tambang Nupa.
Huah! Orang- orang dengan helm, sepatu boot, beberapa dengan lampu dan baterai
di pinggang, berlalu lalang. Tampak amat sibuk, tak peduli pada apa pun kecuali
pada goa-goa.
Bagaimana mereka bisa bertahan? Heran. Tetapi memang, pasokan
senjata berdatangan. Kata kawannya konon karena dibeli dengan emas tambang.
Kini tertahan, bagai mengambang. Dan wajah-wajah itu muncul. Makin jelas.
Wajah-wajah yang datang dari keresidenan. Membujuk, meyakinkan mereka emas
dibutuhkan Nupa. Untuk apa? “Untuk
Monas,” kata mereka. Monumen Nasional. “Pusat juga perlu tahu bahwa di tanah
kita, Nupa.”
Pernahkah kaulihat
matahari begitu banyak?
Atau turun merendah seolah mencecah?
Dalam lapar, dalam nanar, matahari membelah, menjelma kerumun
bulatan pijar. Di sana, di puncak Monas, ada sebuah titik. Apakah hanya
matanya? Karena hari ini, lihat, ada seseorang yang juga mendongak menatap ke
sana.
Apakah mahasiswa? Ia tak tahu sejak kapan si Emas ada di sana. Sejak
kapan pulakah Emas itu menatap ke puncak Monas? Apakah sesuatu juga terbentang,
bagai melayang, dalam kepalanya? Tentu tidak.
“Begitulah yang orang-orang
dengar, emas Monas itu didatangkan dari Jepang.”
Yang orang-orang dengar. Ia tak suka kalimat tak jelas itu. Dari
jauh ia datang karena yakin Perak, anak Logam, tak mungkin menyampaikan hal
yang tak pasti. “Ma-maaf, Pak Jusuf,” katanya.
Pak Jusuf inilah, setelah Logam meninggal, yang diangkat jadi juru
tulis gudang. Jabatan terakhirnya selaku pembantu kepala bagian mesin tumbuk,
memungkinkan Pak Jusuf tahu aliran sumbangan emas untuk Monas itu. Wajah bulat
berkacamata dengan bingkai plastik keras coklat tebal ini, seingatnya, dulu
merupakan sosok sederhana, apa adanya. Tetapi, kenapa kini berbeda? Senyum itu…
terasa ganjil. Ia tak suka. Agaknya ia harus terus-terang.
“Saya membutuhkannya. Untuk modal, coba berdagang!”
Senyum itu masih, tapi mata di balik bingkai besar itu berubah.
Setelah merenggangkan tubuh dari sandaran kursi, mendehem beberapa kali, Pak
Jusuf berkata, “Saya paham, Perunggu. Tetapi,” senyum itu kembali, “Saya punya
usul. Jalan yang lebih baik.”
“Jalan yang lebih baik?”
“Begini,” mendehem lagi. “Dulu, di tambang itu, kita berjuang.
Lihatlah kini diri Perunggu. Saya akan membantu, membuat usulan agar Perunggu
dapat tunjangan veteran.”
“Ah tidak! Mana bisa. Kaki saya putus bukan karena berperang. Tapi
karena dinamit itu, langit goa yang runtuh.”
“Tenang, Perunggu. Itu gampang. Saya…”
“Tidak, Pak Jusuf. Saya tak mau. Kemarin hanya untuk hal itu, soal
sumbangan emas Monas yang dipulangkan. Dari anak Logam saya tahu bahwa emas itu
dikembalikan melalui Pak Jusuf.”
Wanita itu menarik napas. Kembali disandarkannya tubuh ke kursi,
mendengus, lalu berkata, “Sebetulnya bukan dikembalikan, melainkan disalurkan.”
“Maksud Pak Jusuf?”
“Yah, disalurkan. Jadi, begini, baiklah saya terangkan.”
Diperbaikinya duduk, seperti mencari lagi posisi yang tepat. “Emas itu memang
ada pada saya, tapi jumlahnya tak lagi. Ketika saya tanyakan kenapa tak sama,
mereka bilang ada yang digunakan. Tidakkah itu berarti disalurkan?” Mata di
balik bingkai besar itu menatap ke matanya, bagai mencari persetujuan. Lalu, “Nah,
Perunggu tentu bertanya, apakah emas yang mereka pulangkan hingga tak pantas
buat dibagikan?”
Pak Jusuf mengeruk saku celananya, mengeluarkan dompet. Jemarinya
merogoh, menjepit sesuatu ke luar dari dalam dompet lalu mengacungkan ke muka
uang logam satu rupiah. Kemudian katanya, “Bila saya bagikan kepada seluruh
buruh dan karyawan yang bekerja waktu itu, Perunggu, maka masing-masingnya cuma
akan dapat segini. Tak lebih.”
Satu rupiah? Ia ternganga. Hanya satu rupiah?
Seperti tahu keheranannya. Pak Jusuf melambungkan koin satu rupiah
itu tinggi, nyaris menyentuh loteng. Ketika koin itu bergerak turun, ketika
berada pada satu titik antara loteng dan tangan Pak Jusuf yang siap menyambut. Koin
itu berhenti, tertahan bagai mengambang. Semua tak bergerak, diam. Meja, kursi,
taplak, gorden, semua perabot di ruang tamu Pak Jusuf tampak seperti beku.
Senyap. Bahkan udara pun seperti mati. Waktukah yang berhenti? Dan Pak Jusuf,
astaga, kelihatan seperti patung. Sepuluh, dua puluh, atau mungkin tiga puluh
detik. Saat koin itu bergerak turun, bersamaan dengan gerak tangan Pak Jusuf
menyongsong, semua kembali seperti biasa. Tapi ajaib, koin satu rupiah itu tak
tersambut.
“Triiingngng…!”
“Triiingngng…!”
Lelaki tua itu terkejut, tersentak. Bukan koin satu rupiah 40
tahun lalu itu, tetapi koin 1.000 rupiah yang barusan berdenting masuk ke
kalengnya. Siapa yang menjatuhkan? Tak kalah terkejut, matanya segera menangkap
sosok itu.
Tetapi ia telah di sini, di hadapan si pengemis. Dan mata itu,
mata habis menangis kuning kelabu bagai mata kayu, menatap heran ke matanya
seolah bertanya. Kenapa kembali? Ada apa?
Salah tingkah, asalan ia berkata, “Maaf, berapa umur Bapak?”
“Oh…” Si pengemis seperti lega. “Dua puluh satu.”
Dua puluh satu? Bagai bukan angka yang asing. Dua puluh satu? Eh,
dua puluh satu lidah emas….***